Masih tinggalkah Tuhan di Paris ? - part 2

........... Sambungan ..........

"Namun, di tengah ketidakpopulerannya gereja sebagai tempat beribadah tidak lantas membuat keajaiban Tuhan urung terjadi. Di Paris, sebuah pengalaman pribadi membuatku semakin menyadari keajaiban karunia Tuhan, dan bersyukur karena aku memiliki-Nya.

Kami merasa beruntung karena berada di Paris saat hari peringatan Revolusi Perancis, 14 Juli, biasa disebut Le Quatorze Juillet. Malam sehari sebelumnya Paris benar-benar ‘meledak’. Di banyak tempat diadakan pertunjukan kembang api (feu d’artifice), yang terbesarnya tentu saja di sekitar Menara Eiffel. Tak ingin kesempatan langka ini lepas begitu saja, kami rela berdesak-desakan dengan ribuan warga dan turis lainnya untuk menyaksikan kemeriahan ini.

Lima belas menit lepas dini hari, meledaklah kembang api pertama di langit Paris yang gulita. Mulainya memang malam sekali, karena di musim panas seperti ini, cahaya matahari baru sempurna hilang setelah jam sebelas malam. Namun percikan api cantik itu jelas membuat keletihan kami sirna. Kami terbuai cukup lama, sampai-sampai kami lupa: kereta RER (Réseau Express Régionale) yang bisa membawa kami pulang terakhir berangkat jam satu subuh!

Kami hanya sempat menaiki métro terakhir yang tujuannya stasiun Montparnasse. Harapan bisa naik métro untuk pulang hilang sudah dari benak. Waktu sudah nyaris pukul satu, dan kereta di Perancis mana mungkin ngaret! (Di otakku segera terlintas pengalamanku naik TGV (Train à Grande Vitesse) : kereta cepat itu tiba pukul 11:59, tepat sesuai jadwal, tak beda satu menitpun!) Di tengah kepanikan ini kami tiba-tiba melihat tanda stasiun metro bertuliskan Porte de Versailles. Asumsiku: stasiun itu pasti dekat dengan Istana Versailles, dan dari situ, rumah Oom dan Tante kami sudah tidak jauh lagi!

Betapa terkejutnya kami saat turun di stasiun tersebut, ternyata kami sekarang berada di selatan, sedangkan apartemen itu adanya di barat Paris. Ternyata Porte de Versailles sangat jauh dari Istana Versailles. Dan setelah tahu bahwa métro yang kami tadi naiki adalah yang terakhir, ketakutan pun mulai menyelinap dalam hati. Lama tertegun di dalam stasiun, kami baru tersadar ketika banyak pengemis dan tunawisma masuk untuk tidur di dalam stasiun. Aku sering sekali mendengar, angka kriminalitas di Paris termasuk yang tertinggi di negeri ini.

Serangkaian doa singkat nan darurat setidaknya bisa membuat kami lebih tenang dan menjernihkan jalan pikiran. Kami berhasil keluar tanpa diganggu, dan akhirnya bisa menemukan kotak telepon umum. Sambil berharap-harap cemas dan tak henti-hentinya berdoa dalam hati, kami menelepon Oom dan Tante kami yang pastinya sedang tertidur pulas.

Puji Tuhan! Telepon itu dijawab: kami seketika dilarang naik taksi (karena harganya bisa mencapai 200-300 Euro atau 2-3 juta rupiah!) dan diminta menunggu di satu tempat umum yang mudah dilihat.

Beruntunglah tak jauh dari situ kami melihat Hotel Mercure. Pemandangan ini, tiga orang Asia berbaju lusuh duduk dengan cemas di depan pintu hotel mentereng, tentunya tidak bisa ditemukan setiap hari di Paris. Satu jam kami menunggu, tiap menit rasanya muka kami bertambah berat dengan malu. Tak bosan-bosannya kami bersyukur pada Tuhan dan berterima kasih pada Oom dan Tante di sepanjang perjalanan pulang...."

Masih tinggalkah Tuhan di Paris ? - part 1

Sunday, 13th July 2003

.......sambungan dari Get Life! Magazine 21st edition :

"Menurutku, Kota Paris itu bak magnet yang tak pernah kehabisan daya tariknya. Baik itu yang romantis, historis, religius, maupun kombinasi ketiganya, selalu saja ada objek wisata yang belum kita kunjungi, betapapun bersemangatnya kita berwisata. Tapi kota yang dijuluki City of Light ini sesungguhnya hanya menyumbang sepercik bagi khazanah budaya religius Perancis.

Paris sebagai kota terbesar di Perancis sarat dengan bangunan gereja abad-abad pertengahan yang masih berdiri megah dan terawat baik. Katedral Notre Dame, misalnya, yang terkenal lantaran dijadikan setting roman The Hunchback of Notre Dame karya novelis besar Victor Hugo (kemudian dikartunisasi oleh Disney). Tak henti-hentinya turis berdatangan untuk foto-foto di katedral ini. Belum lagi katedral yang sangat cantik di atas bukit Montmartre, Sacre Coeur atau Gereja Hati Suci. Dari balik kubah gereja ini, pemandangan kota Paris terhampar di depan mata. Selain oleh para turis, pelataran gereja-gereja ini dipenuhi oleh para pedagang souvenir.

Sayangnya, semua kehebohan itu tidaklah dibarengi dengan kegiatan bergereja umat Kristiani setempat. Misa atau kebaktian mingguan hanyalah setitik terang yang tak berdampak banyak. Dua gereja Protestan, L'Association Evangélique d'Eglises Baptistes de Langue Française (Asosiasi Gereja-gereja Baptis Injili Berbahasa Perancis) dan La Fédération des Eglises Evangéliques Baptistes (Federasi Gereja-gereja Baptis Injili) menunjukkan pertumbuhan pelan dari segi jumlah jemaatnya, kendati sebagian besarnya justru kaum imigran (Haiti, Karibia, Ukraina, Jepang, China) yang datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian dan bukan bertamasya.

Spiritualitas Kristiani di kota-kota besar Perancis terasa sangat berseberangan dengan di Lourdes dan Taizé. Kedua desa ziarah ini tak henti-hentinya dikunjungi peziarah dengan semangat spiritualitas yang tinggi untuk melihat, merasakan, dan berdoa secara langsung dengan para peziarah dari negara lain. Hebatnya, di tempat-tempat ini, kendati tak saling mengenal, mereka semua bisa menghadap Tuhan dengan begitu khusyuk; ini sangatlah mengharukan.

Sebaliknya, gereja-gereja di Paris dan kota-kota besar lainnya sudah tak lebih dari sekedar bangunan kuno tempat wisata yang patut dilestarikan dan diabadikan dengan kamera modern. Suasana doa dalam gereja manapun di kota Paris selalu terganggu oleh bunyi langkah-langkah kaki turis dan bunyi “klik” jepretan kamera. Bahkan di kota kecil seperti Montpellier, kebiasaan mengikuti misa atau kebaktian di gereja sudah kian pudar, terutama di kalangan muda.

Satu kali Monsieur Gay, host kami yang baik hati, mengajak kami mengikuti misa dalam bahasa Perancis. Ini pengalaman yang pertama bagi kami. Tidak seperti gereja-gereja di Indonesia, pengunjungnya bisa dihitung dengan dua pasang tangan, dan mayoritasnya kaum lanjut usia. Melihat kami, tiga remaja Asia yang masih muda mengikuti misa, sang pastur pun terlihat girang, menatap kami seolah tak percaya. Begitu herannya sampai ketika “salam damai” berlangsung, ia menghampiri kami dan bercengkrama sebentar.

Sehabis misa, sang pastur kembali menghampiri, berterima kasih pada Monsieur Gay karena telah mengajak kami menghadiri misa. Ia bahkan memperkenalkan kami dengan umat yang menyambut kami dengan ramah. Mereka semua tertegun karena kami, dan kami juga tertegun: akan jadi apa nanti jika generasi muda sudah tidak bergereja lagi? ...... "

"Ironis" Country


Thu-Sat, 10-12 July 2003


............
di samping kekurangan2nya, Italia menawarkan banyak pesona yg luar biasa. Tentu di antaranya adalah Vatican City. Kami benar2 terpesona melihat kemegahan dan keindahan Basilika St. Peters. Rasanya ga percaya bisa berdiri di depan gereja indah yang biasanya hanya bisa kami lihat di layar kaca.
Uniknya, negara terkecil di dunia ini memiliki tentara sendiri
(tentara Swiss dengan baju khasnya), kantor pos sendiri walaupun berada di dalam kota Roma

Walaupun ngga sebesar yg dibayangkan, Colosseo Con Mostra alias Colosseum yg terkenal itu sarat dengan sejarah. Fontana de Trevi dan Fontana de Spagna juga ga luput jadi incaran wisatawan, yg konon dapat mengabulkan permintaan kita jika kita melempar koin kedalamnya.

Menjumpai gereja di kota Roma seperti menjumpai wartel di Indonesia...
Hampir setiap belokan jalan, kami menjumpai ada gereja. Ironisnya, ketika kami masuk, kebanyakan pengunjungnya adalah wisatawan yang sedang mengambil foto, bukannya umat yg hendak berdoa.....

Gara2 diving yang dilakuin Fabio Grosso, bek kiri Tim Azzurri di pertandingan melawan Australia bbrp waktu yg lalu, pers dan fans sepakbola menjulukinya "penjahat kecil".
Menurut artikel yg pernah gw baca, konon katanya jangan membicarakan apa yg baik dan apa yg jahat tentang org Italia, karena di Italia tidak ada sesuatu yg sangat baik ataupun sangat jahat. Semua orang Italia melakukan pelanggaran dan "kejahatan kecil" karena itu sudah jadi hal yg biasa, sehingga kebanyakan org Italia adalah "penjahat kecil"....seperti juga Grosso.

Benar-benar negara yg penuh kontroversi.....di Italia banyak sekali gereja dan toko2 yg menjual barang2 rohani termasuk lukisan dan cenderamata bergambar Bunda Maria, sementara itu beberapa meter di sekitarnya, nampak cewek2 Italia mengenakan busana sexy bergambar Maria yg dikeluarin Dolce & Gabbanna...

Sementara Paus Benediktus menyuarakan ketidaksetujuan Gereja terhadap homoseksual, penduduk Italia melakukan demo menentangnya.
Bahkan konon copet atau mafia di Italia pun membuat tanda salib setelah melakukan kejahatan.

Kalau benar apa yg dikatakan Marco Matterazzi untuk menghina "Zizou" Zidane, gw cuma bisa bilang kasian sama negara ini... sementara Roma memiliki Vatican City yg notabene pusat agama, tetapi ironisnya sebagian besar manusia2nya gak menunjukkan hal itu.

Di saat agama hanyalah simbol dan tradisi tanpa iman, semua tidak berarti lagi.
Seharusnya orang-orang seperti itu jangan mengakui dirinya beragama....

Banyak jalan menuju Roma...


Wed, 9 July 2003

"Banyak jalan menuju Roma".....itu pepatah yg sering banget kita denger. Yang maksudnya adalah banyak cara untuk mencapai tujuan kita. Tapi sampai hari ini gw masih blom tau kenapa kota Roma yg dipilih buat pepatah itu ya?

Yg gw tulis disini dalam arti sebenernya, ada "banyak jalan menuju Roma", apalagi jika posisi kita ada di Eropa, karena hampir seluruh kota2 di negara Eropa Barat memiliki sarana transportasi yang sudah bagus dan lengkap., diantaranya kereta api yg dengan mudah melintasi perbatasan antar negara.
Walaupun Roma cukup jauh dari Perancis jika dibandingkan kota-kota di Italia lainnya (mis : Milan atau Pisa), tapi kami saat itu memiliki hasrat yg sangat besar buat mengunjungi Roma, ga lain karena kami pengen banget ngeliat Vatican City dengan mata kepala sendiri. Negara terkecil di dunia tersebut merupakan tempat yg wajib dikunjungi buat umat Katolik kalau sudah datang ke daratan Eropa.

Kami bertiga sepakat untuk menempuh 1 malam perjalanan menuju Roma dengan kereta api. Montpellier-Marseilles-Nice kami tempuh dengan berganti kereta satu kali. Tiba di Monaco, kami memutuskan mampir untuk melihat2 negara orang2 kaya itu. Memang ngga salah pilihan kami, yacht, casino, mobil2 keren, istana megah banyak dijumpai di sini. Kota yang diapit diantara laut dan gunung itu benar2 indah. Memang benar kata orang-orang, daerah Aix-en-Provence di selatan Perancis memang sangat menakjubkan.

Sayang kami ga bisa berlama-lama di Monaco, karena kereta berikutnya sudah siap berangkat menuju Ventimiglia, kota di perbatasan Perancis-Italia. Kota ini sangat kecil, dan kami ga bisa ngelupain jelek dan joroknya stasiun kereta di kota ini. Ternyata kota ini sudah masuk ke teritorinya Italia. Pantes aja, memang Italia terkenal sama kesemrawutan, kejorokan dan copetnya kan? (selain Azzurri dan pizza tentunya)

Bermalam di kereta api yg agak kumuh, tanpa AC dan udara panas cukup membuat kami sulit tidur....jadi serasa naik Mutiara Selatan dari Bdg ke Sby nih....
Jauh sekali perbedaan transportasi milik negara spaghetti ini dibandingkan negara tetangga2nya Jerman dan Perancis !

Selain fasilitas umum yg kurang baik, Italia juga sangat menguras kantong !! Dulu, sebelum ada Uni Eropa, mata uang Lira termasuk yg paling murah, tapi ga tau kenapa sejak pakai Euro, harga2 di Italia luar biasa mahal dibandingkan negara tetangganya. Bayangin aja, untuk ke toilet di stasiun saja kami harus keluar 60 cent Euro / org. Belum lagi hotel2 dengan harga selangit, padahal fasilitasnya minim.. Harga makanan, jgn ditanya deh, untuk 1 slices pizza dengan rasa aneh (jauh lebih enak Pizza Hut --> lidah Asia sih hehe), minimal harus merogoh kocek 10 Euro alias 100 rb lebih....wuhhh...

Pantesan aja klub-klub sepakbola Azzurri terlibat skandal suap...
Perekonomian di Italia memang belum semaju tetangga2nya...