Sunday, 13th July 2003
.......sambungan dari Get Life! Magazine 21st edition :
"Menurutku, Kota Paris itu bak magnet yang tak pernah kehabisan daya tariknya. Baik itu yang romantis, historis, religius, maupun kombinasi ketiganya, selalu saja ada objek wisata yang belum kita kunjungi, betapapun bersemangatnya kita berwisata. Tapi kota yang dijuluki City of Light ini sesungguhnya hanya menyumbang sepercik bagi khazanah budaya religius Perancis.
Paris sebagai kota terbesar di Perancis sarat dengan bangunan gereja abad-abad pertengahan yang masih berdiri megah dan terawat baik. Katedral Notre Dame, misalnya, yang terkenal lantaran dijadikan setting roman The Hunchback of Notre Dame karya novelis besar Victor Hugo (kemudian dikartunisasi oleh Disney). Tak henti-hentinya turis berdatangan untuk foto-foto di katedral ini. Belum lagi katedral yang sangat cantik di atas bukit Montmartre, Sacre Coeur atau Gereja Hati Suci. Dari balik kubah gereja ini, pemandangan kota Paris terhampar di depan mata. Selain oleh para turis, pelataran gereja-gereja ini dipenuhi oleh para pedagang souvenir.
Sayangnya, semua kehebohan itu tidaklah dibarengi dengan kegiatan bergereja umat Kristiani setempat. Misa atau kebaktian mingguan hanyalah setitik terang yang tak berdampak banyak. Dua gereja Protestan, L'Association Evangélique d'Eglises Baptistes de Langue Française (Asosiasi Gereja-gereja Baptis Injili Berbahasa Perancis) dan La Fédération des Eglises Evangéliques Baptistes (Federasi Gereja-gereja Baptis Injili) menunjukkan pertumbuhan pelan dari segi jumlah jemaatnya, kendati sebagian besarnya justru kaum imigran (Haiti, Karibia, Ukraina, Jepang, China) yang datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian dan bukan bertamasya.
Spiritualitas Kristiani di kota-kota besar Perancis terasa sangat berseberangan dengan di Lourdes dan Taizé. Kedua desa ziarah ini tak henti-hentinya dikunjungi peziarah dengan semangat spiritualitas yang tinggi untuk melihat, merasakan, dan berdoa secara langsung dengan para peziarah dari negara lain. Hebatnya, di tempat-tempat ini, kendati tak saling mengenal, mereka semua bisa menghadap Tuhan dengan begitu khusyuk; ini sangatlah mengharukan.
Sebaliknya, gereja-gereja di Paris dan kota-kota besar lainnya sudah tak lebih dari sekedar bangunan kuno tempat wisata yang patut dilestarikan dan diabadikan dengan kamera modern. Suasana doa dalam gereja manapun di kota Paris selalu terganggu oleh bunyi langkah-langkah kaki turis dan bunyi “klik” jepretan kamera. Bahkan di kota kecil seperti Montpellier, kebiasaan mengikuti misa atau kebaktian di gereja sudah kian pudar, terutama di kalangan muda.
Satu kali Monsieur Gay, host kami yang baik hati, mengajak kami mengikuti misa dalam bahasa Perancis. Ini pengalaman yang pertama bagi kami. Tidak seperti gereja-gereja di Indonesia, pengunjungnya bisa dihitung dengan dua pasang tangan, dan mayoritasnya kaum lanjut usia. Melihat kami, tiga remaja Asia yang masih muda mengikuti misa, sang pastur pun terlihat girang, menatap kami seolah tak percaya. Begitu herannya sampai ketika “salam damai” berlangsung, ia menghampiri kami dan bercengkrama sebentar.
Sehabis misa, sang pastur kembali menghampiri, berterima kasih pada Monsieur Gay karena telah mengajak kami menghadiri misa. Ia bahkan memperkenalkan kami dengan umat yang menyambut kami dengan ramah. Mereka semua tertegun karena kami, dan kami juga tertegun: akan jadi apa nanti jika generasi muda sudah tidak bergereja lagi? ...... "
No comments:
Post a Comment